iden

Analisis Kimia Lingkungan dan Material: Kasus Udang Radioaktif sebagai Pemicu Perubahan Polimerisasi dan Kontaminasi Kimia

Fenomena “udang radioaktif” yang sempat ramai dibicarakan di Indonesia bukan hanya sekadar isu lingkungan, tetapi juga menyentuh aspek kimia lingkungan dan kimia material. Kejadian ini membuka mata banyak pihak bahwa pencemaran radioaktif di laut dapat memberikan dampak jauh lebih kompleks — bukan hanya terhadap makhluk hidup, tetapi juga terhadap reaksi kimia dan proses polimerisasi alami maupun buatan di lingkungan perairan.

Zat radioaktif seperti Cesium-137 (Cs-137) atau Strontium-90 (Sr-90) dapat dilepaskan ke lingkungan akibat aktivitas industri, pembangkit listrik tenaga nuklir, maupun peluruhan bahan radioaktif dari limbah medis. Ketika zat tersebut masuk ke ekosistem laut, partikel radioaktif dapat terikat pada sedimen, plankton, atau organisme kecil yang kemudian dimakan oleh hewan laut seperti udang.

Radiasi ini dapat menyebabkan reaksi kimia abnormal dalam sistem biologis — termasuk perubahan struktur molekul organik seperti protein, lipid, dan bahkan biopolimer alami yang menyusun jaringan hewan laut.

 

Bagaimana Interaksi Radioaktif dengan Sistem Kimia Laut?

Air laut merupakan sistem kimia kompleks yang mengandung berbagai ion seperti Na⁺, Cl⁻, Mg²⁺, Ca²⁺, dan senyawa organik terlarut. Ketika isotop radioaktif seperti Cs-137 masuk ke sistem ini, mereka dapat:

Menggantikan ion-ion logam dalam senyawa kompleks (misalnya menggantikan K⁺ karena memiliki sifat kimia serupa),
Mengubah potensial redoks (Eh) air laut,
Meningkatkan reaktivitas kimia melalui pembentukan radikal bebas akibat paparan radiasi γ (gamma).

Radikal bebas yang terbentuk dapat menyerang ikatan kimia dalam molekul organik dan memicu reaksi polimerisasi atau depolimerisasi spontan.

Dampak Kimia pada Biopolimer Udang

Struktur kimia pada tubuh udang, seperti kitin (polisakarida) dan protein kolagen, termasuk biopolimer alami yang sangat sensitif terhadap perubahan energi tinggi. Paparan radiasi ionisasi dapat menyebabkan:

Pemutusan rantai (chain scission) pada polimer kitin, menghasilkan molekul yang lebih pendek.
Pembentukan radikal bebas, yang dapat menyebabkan cross-linking antarmolekul dan mengubah sifat fisik jaringan (misalnya tekstur atau warna).
Perubahan komposisi kimia, termasuk oksidasi lipid dan degradasi asam amino aromatik (tirosin, triptofan) yang peka terhadap radiasi.

Efek ini tidak hanya mengubah karakteristik biologis udang, tetapi juga meningkatkan risiko toksikologi kimia pada manusia jika dikonsumsi.

Aspek polimerisasi dan material dalam lingkungan selain memengaruhi biopolimer alami, radiasi juga berdampak pada mikroplastik dan polimer sintetis yang banyak beredar di laut. Dalam kehidupan modern, polimer memainkan peran penting hampir di setiap aspek kehidupan manusia — mulai dari plastik, tekstil, hingga bahan medis. Namun di sisi lain, keberadaan polimer di lingkungan menghadirkan tantangan besar bagi keseimbangan ekosistem. Di tengah isu pencemaran, proses kimia seperti polimerisasi dan degradasi material menjadi hal yang menarik untuk dikaji dari sudut pandang kimia lingkungan.

Polimerisasi merupakan proses penggabungan molekul-molekul kecil yang disebut monomer menjadi molekul besar bernama polimer. Reaksi ini bisa terjadi melalui dua mekanisme utama, yaitu polimerisasi adisi dan polimerisasi kondensasi. Dalam industri, reaksi ini dimanfaatkan untuk membentuk bahan-bahan seperti polietilena (PE), polipropilena (PP), polivinil klorida (PVC), dan polietilena tereftalat (PET) yang banyak digunakan dalam kemasan dan tekstil.

Namun, di lingkungan, proses serupa juga bisa terjadi secara alami. Misalnya, pembentukan biopolimer seperti selulosa, kitin, dan protein yang tersusun dari monomer alami seperti glukosa atau asam amino. Reaksi polimerisasi biologis ini biasanya berlangsung melalui mekanisme enzimatik yang lebih ramah lingkungan dan dapat terurai kembali melalui proses biodegradasi. Berbeda dengan itu, polimer sintetis yang dihasilkan manusia cenderung sulit terurai karena memiliki ikatan karbon-karbon yang sangat kuat. Ketika terlepas ke alam, material ini dapat bertahan selama puluhan hingga ratusan tahun tanpa mengalami degradasi sempurna.

Kasus “udang radioaktif” menjadi peringatan penting akan rapuhnya hubungan antara aktivitas manusia dan keseimbangan kimia lingkungan. Fenomena ini menunjukkan bahwa pencemaran radioaktif tidak hanya mengancam makhluk hidup secara biologis, tetapi juga menimbulkan konsekuensi kimia yang mendalam di perairan. Oleh karena itu, pendekatan berbasis kimia berkelanjutan (green chemistry)perlu diterapkan untuk mencegah terulangnya dampak serupa di masa mendatang.

Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan memanfaatkan biopolimer alami sebagai bahan penyerap ion logam radioaktif di lingkungan perairan. Biopolimer seperti kitin dan kitosan, yang banyak ditemukan pada limbah cangkang udang atau kepiting, memiliki gugus aktif seperti amina dan hidroksil yang mampu berinteraksi dengan ion logam berat dan isotop radioaktif. Melalui proses adsorpsi, ion-ion berbahaya seperti cesium atau stronsium dapat diikat pada permukaan biopolimer, sehingga menurunkan konsentrasi zat radioaktif di air laut. Pendekatan ini tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga memanfaatkan limbah biologis menjadi bahan fungsional yang bermanfaat dalam pengendalian pencemaran.

Selain itu, penggunaan nanomaterial oksida logam seperti titanium dioksida (TiO₂) dan seng oksida (ZnO) menjadi alternatif lain yang menjanjikan. Material ini memiliki sifat fotokatalitik yang tinggi, artinya mampu menguraikan senyawa berbahaya ketika terkena sinar ultraviolet atau cahaya matahari. Dalam konteks pencemaran radioaktif, nanomaterial ini dapat mempercepat degradasi senyawa organik yang telah terkontaminasi, sekaligus membantu menstabilkan ion radioaktif agar tidak mudah berpindah ke jaringan biota laut. Teknologi ini dikenal efisien, tidak menghasilkan limbah tambahan, dan sejalan dengan prinsip kimia hijau karena memanfaatkan energi alami dari cahaya.

Langkah pencegahan lain yang perlu diperhatikan adalah penerapan metode remediasi kimia di wilayah yang berpotensi terpapar isotop berbahaya. Remediasi kimia dilakukan dengan cara menambahkan reagen tertentu yang dapat bereaksi langsung dengan zat radioaktif, membentuk endapan atau senyawa stabil yang tidak mudah larut dalam air. Misalnya, penambahan senyawa ferrosianida dapat mengikat cesium membentuk kompleks tidak larut, sehingga mencegahnya masuk ke rantai makanan laut. Dengan pengawasan yang berkelanjutan, metode ini mampu menurunkan kadar radioisotop di lingkungan akuatik secara signifikan.

Upaya-upaya tersebut mencerminkan bagaimana prinsip kimia dapat diterapkan untuk melindungi ekosistem tanpa menimbulkan dampak baru yang merugikan. Pendekatan keberlanjutan tidak hanya menekankan pada pengurangan limbah, tetapi juga pada transformasi limbah menjadi solusi, seperti pemanfaatan bahan alam untuk menanggulangi pencemaran yang ditimbulkan manusia sendiri. Melalui penerapan kimia hijau, monitoring lingkungan yang konsisten, dan inovasi teknologi material, potensi terulangnya kasus seperti “udang radioaktif” dapat diminimalkan, sekaligus mendorong terciptanya sistem kimia yang lebih bertanggung jawab terhadap alam.

 

© PRODI KIMIA - FMIPA
Universitas Pakuan
Jl. Pakuan Bogor - Jawa Barat. Kode Pos : 16143